DEWARTA.COM – POLITISI muda ini bersinar di dua laga. Di Pilgub Jambi 2015, namanya mendadak melesat, dibincangakan di mana-mana sewaktu dipercaya Hasan Basri Agus (HBA) menjadi calon wakil gubernur.
Mata publik terbelalak. Semuanya terperangah dengan langkah politik HBA. Yang menggandeng anak muda. Semuanya tak menyangka. Ada yang menganggap ini strategi. Karena lawan yang bakal dihadapai HBA adalah Zumi Zola, juga anak muda.
Padahal, ia baru saja menikmati ranumnya jabatan Wakil Ketua Dewan Provinsi Jambi. Edi legowo melepas kursi empuknya itu. Dengan gagah berani.
Walau gagal mencipta rekor–sebagai wagub termuda di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini–, langkah Edi berlaga di Pilgub itu. Subhanallah… malah membuatnya terlepas dari jerat OTT KPK.
Mungkin ini jalan Allah untuk mengangkat derajatnya.
Tengok saja, bagaimana November 2017 itu, menjadi mimpi buruk bagi keluarga besar DPRD Provinsi Jambi. Sebagian mereka, hingga kini masih was-was menanti antrean panjang diterungku komisi anti rasuah.
Gagal di Pilkada bukan lantas membuat karir Edi redup. Karir politiknya kian menyala-nyala. Edi terus dipercaya Bu Mega–sebutan Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDIP–, untuk menahkodai partai banteng Provinsi Jambi.
Edi mentasbihkan diri sebagai yang muda yang berkarya. Sosok politisi ideal, yang kini banyak ditauladani aktivis muda.
Gaya bicaranya lugas, tegas dan jelas.
Tidak bertele-tele. Kelihatan sekali ia politisi cerdas, berwawasan luas. Saya sering mengintip Edi diwawancara wartawan, di cafe Hello Sapa, yang lokasinya di tepi Danau Sipin itu, dengan argumentasi yang dalam. Intelek.
Ia bukan politisi kemarin sore.
Sejak mahasiswa, Edi sudah aktif di dunia aktivis. Kali pertama terjun ke dunia ini, pecinta kaligrafi itu langsung dipercaya menjadi Menteri Agama BEM UIN. Presiden BEM nya waktu itu Jafar Ahmad, yang kini menjabat Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jambi.
Edi juga aktif di organisasi ekstra kampus. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah tempatnya bernaung. Sesama aktif di organisasi Hijau Hitam, penulis beberapa kali menengok langsung bagaimana kepiawaian Edi mengelola massa.
Jangan heran kenapa Edi bisa santai menghadapi massa. Dia sudah terbiasa dengan hal begitu. Sejak dulu.
Puncaknya, ia dipercaya menjadi Presiden BEM UIN. Kemampuannya berorganisasi dan menghimpun orang kian terasah.
Selepas purna dari kampus, Edi terjun ke politik praktis. Bernaung di PDIP, Edi pernah dipercaya menjadi tangan kanan Irsal Yunus, Ketua PDIP Provinsi Jambi. Edi pernah pula menjadi ajudan pribadi Turimin, Wakil Walikota Jambi yang juga politisi PDIP.
Karir politiknya terus melejit hingga dipercaya menahkodai PDIP Provinsi Jambi, menggantikan Irsal Yunus. Kematangannya berpolitik semakin paripurna.
Pileg 2019 menjadi momentum kebangkitan Edi. Ia melenggang mudah ke kursi DPRD. Sukses pula menjadi Ketua. Bukankah ketua DPRD adalah jabatan orang nomor tiga di provinsi?.
Kemana-mana, ia diboyong kendaraan berplat BH 3. Sesekali dikawal polisi berserine. Sebuah posisi tertinggi dan idaman siapa saja para politisi.
Tentu Edi bersyukur. Ia bisa melenggang mudah ke DPRD karena peran pak Dul–sebutan Kyai Abdullah Sani–. Pak Dul adalah kader murni PDIP. 24 karat.
Bukan semata karena sesama kader banteng. Edi hormat takzim ke Pak Dul karena menganggapnya sosok kyai, yang memang musti dihormati. Semasa mahasiswa, Edi menaruh hormat kepada Pak Dul, yang merupakan dosennya.
Pak Dul pula yang membuka jalan Edi untuk bisa menang mudah di Pileg 2019. Bayangkan, bagaimana bila Pak Dul memaksa ikut nyaleg dari dapil kota? Satu dapil dengan Edi.
Edi adalah politisi yang tahu balas budi.
Ia bentangkan karpet merah buat Pak Dul, hingga masuk bursa Pilgub 2020. Sejak awal, Edi getol menyorong nama Pak Dul, sebagai syarat untuk mengantongi tiket PDIP.
Safrial, Bupati Tanjab Barat, yang juga bangga sebagai kader banteng itu, sempat sempoyongan memburu tiket PDIP. Karena Edi tak meliriknya dan keukeuh dengan nama pak Dul.
Di belahan dunia manapun politik itu selalu bergerak dinamis. Bukan statis. Yang terlihat dipermukaan kadangkala menipu. Di luar dugaan….PDIP malah menyokong Cek Endra.
Edi tentu punya alasan kenapa PDIP melepas Pak Dul. Dari sejumlah orang dekatnya, saya tahu alasannya. Tapi rahasia… hehehe
Karena harus memenuhi syarat kader, Ratu Munawaroh–Ibu sambung Zumi Zola yang diproyeksikan menjadi wakil Cek Endra–, diminta mengenakan jaket merah. Padahal, Ratu masih 24 karat di PAN.
Sementara Pak Dul, terpaksa meninggalkan rumah besarnya. Dengan senyum semringah. Bukan dengan amarah.
Meski tak lagi di kandang banteng, hubungan keduanya tetap apik. Beberapa orang masih percaya bahwa Pak Dul masih kader Banteng. Ini semata taktik politik.
Begitulah politik. Tidak ada musuh abadi. Hanya kepentingan yang abadi.
Pilgub pun usai. Pemenangnya sudah diumumkan KPU, Sabtu kemarin. Tapi belum ditetapkan. KPU masih menunggu kemungkinan adanya gugatan ke MK. Waktunya tiga hari, dimulai hari ini.
Baik Haris-Sani atau CE-Ratu yang nantinya dilantik, inilah kemenangan Edi. Politisi muda yang tengah bersinar itu.
Secara organisasi, PDIP boleh jadi dianggap gagal di Pilgub. Tapi, ada pak Dul di sana. Yang menjadi guru, kyai sekaligus kader banteng 24 karat. Bravo untuk tuan Edi. The Next Leader! (*)
Penulis Dr Dedek Kusnadi Msi MM adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di UIN STS Jambi dan peneliti di Puskaspol Jambi.