LIVE TV
JN Menang Telak, Nahkodai Yayasan Budhi Luhur Kuala Tungkal PT LPPPI Sukses Hidupkan Kawasan Hijau, Panen Semangka “Montok” Bersama Petani Binaan Sijago Merah Ngamuk Lagi Tengah Malam di Pemukiman Warga, Belasan Bangunan Ludes Pelantikan Panwascam Tanjab Barat Berlangsung Khidmat, Ketua Bawaslu : Hari Ini Istimewa Miris, 31 Kali Kebakaran Januari Hingga Oktober 2022 di Tanjabbar

Home / OPINI

Senin, 28 September 2020 - 15:41 WIB

Tokoh Agama Jadi Pemimpin ?

DEWARTA.COM – Menurut Plato, negara ideal harus dipimpin oleh seorang Filosof. Seorang Filosof memiliki jiwa untuk mencintai kebenaran dan kebijaksanaan.

Sebab, pribadi yang mencintai kebenaran dan kebijaksanaan pasti memiliki sifat seperti jujur, amanah, tanggungjawab. Pada diri seorang filosof identik terdapat karakter yang kuat, tahan godaan dan mampu memimpin.

Makna Filosof juga terdapat dalam diri pemimpin agama dan pemimpin spiritual. Sejarah mengajarkan bagaimana seorang tokoh agama bisa sekaligus juga seorang pemimpin negara.

Muhammad SAW mampu menjadi pemimpin umat Islam sedunia. Sekaligus menjadi pemimpin negara yang sering disebut sebagai negara madani. 

Dengan meletakkan prinsip-prinsip bernegara, berlaku adil dengan siapapun, meletakkan hukum diatas kepentingan golongan. Berbagai prinsip seperti membayar pajak termasuk manusia paling taat sekalipun, menghargai hak milik, bersatupadu menghadapi musuh dari luar (nasionalisme), tidak boleh membunuh, tidak ada pembedaan hukuman antara satu dengan yang lain.

Berbagai prinsip ini kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah. Prinsip-prinsip umum yang termaktub jauh sebelum lahirnya Magna Charta yang berisikan “Menghormati kemerdekaan, hak dan kebebasan, melindungi hak milik, menghargai proses hukum dengan menuntut harus disertai bukti dan saksi.

Magna Charta menjadi landasan yang kemudian dikenal dengan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Prinsip yang kemudian ditetapkan sebagai “Declaration of Human Right” tanggal 10 Desember 1948. Hari yang kemudian dikenal sebagai Hari HAM sedunia.

Baca Juga  Kemenangan Edi Purwanto

Di literatur Islam, berbagai sifat dari Filosof sering ditempatkan sebagai kaum Sufi. Umar bin Abdul Aziz adalah “Tokoh Inspiratif” di dalam melihat relasi antara pemikiran Sufi di dalam Bernegara.

Negara “Mengurusi Kemiskinan”. Orang kaya harus bertanggungjawab terhadap tetangga sekitarnya. Berbagai pajak digunakan untuk melindungi kaum papa. Bahkan rakyat langsung bisa mengadu kepada Sulthan untuk menyelesaikan masalah hidupnya.

Berbagai negara juga menempatkan tokoh spiritual sekaligus sebagai kepala Negara. Paus sebagai pemimpin Umat Katolik sedunia kemudian menjadi kepala Negara Vatikan.

Dengan luas Cuma 44 ha dan populasi Cuma 842 jiwa, Negara Vatikan kemudian disebut sebagai negara terkecil diunia.

Sebagai sebuah negara, maka Vatikan kemudian diakui secara internasional.

Atau Dalai Lama yang diakui sebagai tokoh Budha masyarakat Tibet kemudian “Dikudeta” oleh RRC dan kemudian dicaplok sebagai bagian Provinsi.

Keteladanan pemimpin agama sekaligus kepala negara dapat dilihat berbagai peristiwa.

Muhammad SAW sendiri pernah menyatakan “akan memotong sendiri tangan anaknya apabila kedapatan mencuri”.

Atau kisah “Lampu Lilin” Umar bin Abdul Aziz yang “Mematikan Lilin negara” ketika menerima “Keluarganya”.

Bahkan Umar Bin Khattab setiap malam memikul gandum dan mengantarkan sendiri ke rumah penduduk sambil bercucuran airmata setelah mengetahui ada penduduknya yang tidak makan.

Baca Juga  Kebebasan Jurnalistik dan Pilkada

Pemimpin agama atau pemimpin spiritual sekaligus kepala negara tidak semata-mata cuma urusan agama. Dan menyibukkan diri dalam urusan agama. Dan meninggalkan ragawi urusan dunia.

Namun cakap memimpin sistem pemerintahan, mengurusi ekonomi rakyatnya, tidak rakus mengambil pundi-pundi negara, melarang cawe-cawe keluarga mengurusi negara.

Bukan menggunakan “Kedok” atau “Cover” agama untuk menutupi ketidak mampuan mengurusi negara.

Bukankah sering diungkapkan “Apabila urusan diserahkan bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancuran negara’. Atau dengan istilah lain “ Right man. Right place”.

Menempatkan kaum Filsuf atau kaum Sufi atau pemimpin agama dan pemimpin spiritual sekaligus kepala negara dilekatkan sifat-sifat yang mampu memayungi umatnya. Sekaligus rakyat (Memayu Hayung Bawana).

Mampu menjadi “Pohon Beringin”. Pohonnya rindang dapat berteduh. Akar kuat tempat duduk besilo.

Menempatkan kaum “filsuf” atau kaum sufi atau pemimpin agama dan pemimpin spiritual sebagai kepala negara membuat rakyat menjadi aman, Makmur dan Sentosa.

Sebagaimana sering diungkapkan dalam Filosofi Jawa “Gemah ripah loh jinawi. Toto-tenteram. Kerto Rahardjo”.

Atau seloko Jambi “ Negeri aman. Padi Menjadi. Rumput Hijau. Kerbo Gepok. Aek tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur. (***)

Penulis : Musri Nauli, Pengamat Sosial Politik dan Praktisi Hukum

Share :

Baca Juga

OPINI

Kebebasan Jurnalistik dan Pilkada

OPINI

Kemenangan Edi Purwanto