LIVE TV
JN Menang Telak, Nahkodai Yayasan Budhi Luhur Kuala Tungkal PT LPPPI Sukses Hidupkan Kawasan Hijau, Panen Semangka “Montok” Bersama Petani Binaan Sijago Merah Ngamuk Lagi Tengah Malam di Pemukiman Warga, Belasan Bangunan Ludes Pelantikan Panwascam Tanjab Barat Berlangsung Khidmat, Ketua Bawaslu : Hari Ini Istimewa Miris, 31 Kali Kebakaran Januari Hingga Oktober 2022 di Tanjabbar

Home / OPINI

Kamis, 1 Oktober 2020 - 12:10 WIB

Kebebasan Jurnalistik dan Pilkada

DEWARTA.COM – Pagi ini, belum beranjak dari tempat tidur, saya kemudian membuka internet. Browsing internet. Sekaligus membaca status teman-teman di dunia maya.

Alangkah kagetnya ketika saya membaca status beberapa teman jurnalis yang saya kenal. Keluhan tentang “Media yang diatur”. Demikian kesan beberapa status FB.

Tersentak. Sayapun kemudian menghubungi tim internal, memastikan beberapa sumber yang kredibel, menghubungi beberapa narasumber yang terpercaya.

Pelan kemudian saya telusuri. Satu persatu. Persis menguraikan benang kusut. Kemudian menyusunnya kembali. Seperti menyusun puzzle.

Syukurlah. Dari tim internal Media publikasi dan Opini Al Haris – Sani tidak melakukan perbuatan yang “tercela”.

Secara umum, relasi tim pemenangan para kandidat dengan media massa adalah hubungan profesionalisme. Hubungan personal hanya memperkuat.

Hubungan profesionalisme menempatkan jurnalis sebagai “telinga publik”. Menangkap aspirasi publik mengenai politik. Terutama politik menjelang Pilkada.

Tim sukses sama sekali tidak dibenarkan “intervensi”, mengatur “berita”, mengatur dapur redaksi. Apalagi “mengatur” hingga teknis pemberitaan.

Sebagai tim pemenangan, tugas tim pemenangan mengabarkan berbagai peristiwa yang dilakukan oleh kandidat. Entah menemui tokoh-tokoh politik, pertemuan dengan tim sukses di lapangan, pertemuan dengan para ketua koalisi partai pengusung, pertemuan dan event penting. Dan tentu saja disampaikan dengan gaya khas jurnalistik.

Baca Juga  Tokoh Agama Jadi Pemimpin ?

Bukan menempatkan “media online” sebagai “madding (majalah dinding)” dari kegiatan kandidat.

Sehingga ketika peristiwa yang dilakukan kandidat mempunyai “Bobot news”. Bobot yang diperlukan oleh jurnalis itu sendiri.

Namun sebagai “news”, jurnalis mempunyai “kemerdekaan” untuk melihat dari berbagai sudut (angle). Cara melihat “angle” membuktikan jurnalis yang sudah mempunyai jam terbang, teknis pengemasan, pemilihan judul hingga penggunaan narasi mempertajam peristiwa.

Atau dengan kata lain, tugas tim pemenangan telah “selesai’ ketika mengabarkan “news” oleh kandidat. Sehingga jurnalis mempunyai “kemerdekaan” untuk “memilah”, “memilih bahkan “menentukan news’ yang akan digunakan.

Cawe-cawe “mengatur” urusan redaksi selain akan “mengganggu” kemerdekaan jurnalis juga “merusak” mood dari pembaca. Sehingga justru akan membuat “media massa” Cuma sebagai corong dari kepentingan kandidat.

Padahal pilkada adalah berita politik yang paling ditunggu masyarakat. Ditengah “mendap dirumah”, berita-berita politik adalah “konsumsi” masyarakat untuk mengusir kejenuhan. Sekaligus juga mengukur kadar dari kualitas kandidat sebelum dipilih 9 Desember.

Namun yang paling merusak, ketika “cawe-cawe” menentukan pemberitaan. Termasuk mengatur “pemilihan judul”, mengganti judul, meminta mengganti photo kandidat, mengatur pemberitaan dan kemudian “memarahi” jurnalis.

Baca Juga  Kemenangan Edi Purwanto

Selain cara ini “mengancam” kemerdekaan pers itu sendiri, cara-cara ini justru menyebabkan media massa jatuh di titik nadir. Dan itu sungguh berbahaya bagi demokrasi itu sendiri.

Dan jurnalis yang merdeka dan profesionalisme akan menolak “cara-cara kotor”. Selain merusak makna demokrasi itu sendiri, kemerdekaan jurnalistik justru berani berhadapan melawan kepongahan. Termasuk menolak campur tangan “cawe-cawe” mengenai dapur redaksi dan pemberitaan. Dan “cara pandang (angle)” yang dipilih oleh sang jurnalis itu sendiri.

Sudah saatnya jurnalis ditempatkan sebagai mitra didalam melihat Pilkada. Sudah saatnya jurnalis adalah “tiang punggung” demokrasi.

Bukankah sudah sering kita dengar. Pers adalah pilar demokrasi yang keempat.

Di tangan pers yang merdeka, justru pemberitaan berkaitan dengan pilkada menyebabkan rakyat menjadi gembira. Suka cita menyambut demokrasi. Pesta yang ditunggu-tunggu. Ditengah kegalauan ekonomi dan virus covid yang terus meneror warga.

Mari kita sambut pilkada dengan riang gembira. (**)

Penulis Musri Nauli, Pengamat Politik dan Praktisi Hukum

Share :

Baca Juga

OPINI

Kemenangan Edi Purwanto

OPINI

Tokoh Agama Jadi Pemimpin ?