FAHREYZ REZA SAPUTRA
DEWARTA.COM – Meski dilihat dari segi apapun (baik de yure maupun de facto) pidana mati tetap sah berlaku, namun adanya berbagai pandangan kontroversial yang selalu menyertainya tersebut, tentu tidak dapat di abaikan begitu saja. Dipertahankannya sanksi pidana mati dalam RUU KUHP sekilas memang mengandung kesan bahwa konstruksi hukum pidana Indonesia mendatang cenderung di bangun atau bertolak dari ide dasar mengenai pentingnya perlindungan masyarakat semata.
Hal tersebut bisa dimengerti mengingat jenis sanksi ini tentu sulit untuk dipandang sebagai konsep hukum yang berpihak pada kepentingan terpidana pelaku kejahatan. Sebab melalui pidana mati, justru dijustifikasi sekaligus dilegitimasi oleh hukum untuk dimatikan kehidupannya sehingga tidak berkesempatan untuk memperbaiki diri dari kejahatan yang terlanjur dilakukannya. Kesan di atas juga semakin terlihat jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 87 RUU dan penjelasannya yang menyatakan bahwa pidana mati secara alternatif di jatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Penegasan demikian memang bisa melahirkan persepsi bahwa eksistensi pidana ini tidaklah dimaksudkan untuk mendukung pencapaian tujuan – tujuan pemidanaan lain di luar tujuan melindungi masyarakat. Padahal dalam kebijakan hukum pidana mendatang telah digariskan bahwa selain untuk melindungi dan mengayomi masyarakat,
Penjatuhan pidana juga di dasarkan dan di orientasikan pada upaya untuk mewujudkan berbagai tujuan lain seperti membimbing dan membina terpidana agar kembali menjadi orang baik dan berguna di masyarakat, menyelesaikan konflik dan memulihkan keseimbangan sosial yang terguncang akibat terjadinya tindak pidana dan membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana Namun demikian, jika dicermati lebih mendalam kesan di atas tidaklah sepenuhnya benar.
Sebab dengan adanya penegasan bahwa kedudukan pidana mati adalah sebagai pidana khusus dan eksepsional yang penjatuhannya harus sangat selektif dan benar – benar sebagai upaya terakhir, justru menunjukkan sebagai sebuah konsep hukum yang mengandung orientasi berupa perlindungan kepada kepentingan calon terpidana (individualisasi pidana). Karena dengan konsep hukum tersebut, secara tidak langsung hakim seolah di perintahkan untuk terlebih dahulu mencari solusi pemidanaan lain sebelum menggunakan pidana mati.
Artinya, penjatuhan pidana mati haruslah dipandang dan dilaksanakan sebagai alternative maupun solusi paling akhir bagi penyelesaian suatu kejahatan. Bukan diutamakan, meskipun sebagai pidana pokok. Selanjutnya, kebijakan pengaturan pidana mati yang tetap mempertimbangkan perlindungan terhadap kepentingan individu terpidana tersebut, juga dapat dilihat dalam rancangan Pasal 88 sampai dengan Pasal 90 tentang tatacara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati. Kebijakan pencantuman pidana mati dalam RUU KUHP yang dirancang sebagai pidana khusus dan hanya diperuntukkan sebagai ancaman terhadap jenis-jenis kejahatan tertentu yang bersifat serius dengan aturan penerapan yang sangat selektif. (*)